“Di masa lalu, kami perempuan tidak hanya melawan penjajah. Kami juga melawan kebisuan, Kalian pikir kemenangan adalah akhir dari semua derita? Tidak. Di sinilah batasnya. Batas antara impian yang kami bangun dan kenyataan yang menghancurkannya.
Mereka adalah cahaya yang menerangi jalan. “Batas langit bukanlah akhir,” katanya dengan semangat. “Harapan kita akan terus terbang tinggi, melampaui batasan yang ada.”
“Kami kehilangan rumah kami, bukan hanya tempat tinggal, tetapi kenangan. Kami diusir, tetapi tidak akan membiarkan kisah kami terbenam dalam ingatan. Kami adalah suara yang hilang!”
Bunga, dia memimpin kami, mengajarkan kami untuk tidak hanya mengandalkan laki-laki. Dia mengajarkan kami kekuatan, dan bagaimana cara melindungi yang kami cintai,
“Kita adalah pewaris dari perjuangan yang tidak pernah padam. Jejak-jejak yang hilang kini telah ditemukan, dan kita akan terus membangkitkan harapan untuk generasi mendatang.”
Salah satu surat berbunyi, “Kemerdekaan bukanlah akhir, tetapi awal dari sebuah perjuangan baru.” Surya terharu, merasa terhubung dengan para pejuang yang telah berjuang sebelumnya.
Dinda mengamati surat dengan tajam. “Ada banyak yang tidak pernah diceritakan. Di negeri ini, sejarah menyimpan rahasia. Jejak yang hilang mungkin berkaitan dengan kisah para pejuang yang diabaikan,”
Ia menyadari bahwa meski kemerdekaan telah dicapai, rakyat masih menghadapi tantangan besar. Dalam benaknya, muncul pertanyaan besar: Apa artinya merdeka jika keadilan dan kesejahteraan masih jauh dari kenyataan?
Apa arti kemerdekaan jika rakyat tetap menderita?** Ia menemukan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang seperti Mataya, bukan di buku sejarah resmi, tetapi di hati rakyat kecil yang teralienasi, terpinggirkan yang terus berjuang dalam diam.