Haji Reguler: Antrean 30 Tahun

pilgrims gather at the holy kaaba in makkah
Share Post

Haji Reguler: Antrean 30 Tahun dan Urgensi Reformasi Sistem Pendaftaran

Setiap tahun, jutaan umat Islam Indonesia berdoa agar bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Namun, kenyataannya menunjukkan sesuatu yang ironis: sebagian besar dari mereka harus menunggu hingga 30 hingga 45 tahun sebelum mendapat giliran berangkat. Bahkan ada kabupaten yang perkiraan melampaui usia harapan hidup nasional. Sistem pendaftaran haji reguler saat ini, alih-alih pemutaran yang benar-benar siap, justru menciptakan antrean semu yang stagnan dan tak efisien.

Flashdisk Kitab Kuning PDF

Harga Emas Naik, Porsi Haji Tetap Murah

Karena persoalan ini berawal dari kebijakan yang sudah terlalu lama tidak dievaluasi: biaya pendaftaran haji reguler . Hingga kini, pemerintah masih menetapkan angka Rp25 juta sebagai sebagai syarat pendaftaran awal untuk mendapatkan porsi haji. Angka ini telah berlaku selama lebih dari satu dekade. Sementara itu, harga emas , biaya hidup , dan kurs valuta asing terus naik .terus naik naik. Sebagai ilustrasi, dalam dua dekade terakhir, harga emas melonjak sekitar Rp180.000/gram (2005) menjadi lebih menjadi lebih dari Rp1.800.000/gram (April 2025) . Kenaikan ini mencerminkan inflasi dan perubahan daya beli yang seharusnya menjadi acuan pembaruan sistem.

Namun, dengan nilai pendaftaran yang tidak mengikuti tren ekonomi, biaya masuk haji justru menjadi semakin “murah” secara riil . Akibatnya, semakin banyak orang yang merasa mampu mendaftar lebih awal—bukan karena telah siap secara ruhani dan Fisik, tetapi karena ingin “mengamankan nomor antrean” sebelumsebelum membuat panjang.

Porsi Haji Jadi “Tabungan Warisan”

Fenomena ini menciptakan konsekuensi sistemik. Tidak sedikit masyarakat mendaftarkan anak-anak mereka yang bahkan belum mencapai usia baligh. Porsi haji kemudian berubah fungsinya menjadi semacam tabungan jangka panjang , bahkan warisan keluarga.

Dapatkan: Kitab Kuning Digital Ribuan Judul Hanya dengan 45Ribu

Ironisnya, banyak pula yang mendaftar hanya karena desakan sosial: agar tak tertinggal dari tetangga, teman sejawat, atau agar kelak bisa menyematkan gelar “Haji” dalam nama. Ini menciptakan beban sistemik pada daftar tunggu nasional, karena tidak semua pendaftar benar-benar memiliki kesiapan finansial atau spiritual ketika tiba waktunya pelunasan.

Sementara itu, mereka yang benar-benar sudah siap secara fisik, mental, dan finansial—sering kali lansia—harus menunggu bertahun-tahun tanpa kepastian.

Baca Juga: Ketentuan Ibadah Haji dan Umroh

Solusi Radikal yang Realistis

Jika akar masalahnya adalah nilai pendaftaran yang terlalu rendah secara riil , maka solusi logisnya adalah melakukan reformasi sistem pendaftaran . Berikut adalah sejumlah tawaran yang dapat dipertimbangkan:

1. Sesuaikan Biaya Porsi dengan Nilai Emas

Alih-alih mempertahankan nominal tetap, pemerintah dapat menetapkan nilai porsi dalam satuan emas , misalnya 20 gram emas . Dengan cara ini, daya beli disesuaikan dengan situasi ekonomi terkini. Harga porsi haji pun tidak lagi tergerus inflasi.

2. Batas Usia Pendaftar

Terapkan batas usia minimal dan maksimal, misalnya 21–65 tahun , demi menjamin kematangan niat dan kesiapan kebugaran. Ini juga mencegah fenomena “pemesanan kursi masa depan” oleh anak-anak yang belum memiliki kesadaran ibadah.

3. Terapkan Seleksi Awal

Lakukan penyaringan awal melalui asesmen sederhana:

  • Tes pemahaman dasar tentang rukun haji,

  • Surat keterangan sehat,

  • Bukti kesiapan finansial (minimal 70% pelunasan),

  • Surat pernyataan kesiapan beribadah, bukan semata-mata keinginan administratif.

Mengembalikan Haji pada Hakikatnya

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima, yang ditujukan bagi mereka yang benar-benar mampu . Kemampuan itu tidak hanya diukur dari kemampuan mendaftar, melainkan dari kesiapan spiritual, fisik, dan finansial yang menyatu.

Sistem haji saat ini memerlukan lebih dari sekadar pembaruan administratif. Ia memerlukan paradigma reformasi , bahwa haji bukan soal “cepat daftar siapa cepat dapat”, melainkan siapa yang paling siap . Tanpa reformasi, daftar tunggu akan terus menumpuk, dan semangat ibadah akan tereduksi menjadi antrean pasif tanpa kejelasan.

Sudah saatnya kita memperbaiki sistem agar yang berangkat adalah mereka yang benar-benar siap—bukan hanya mereka yang cepat mendaftar.



Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Komentar

Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca