Nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang” diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan. Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”, artinya maka tinggalkan. “Bagong”, dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim. “Semar” dari kata “Syimar”, artinya arif dan waspada. (Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).
Dalam pementasan wayang, biasanya diselilingi dengan menyanyi-kan Tembang Mocopat. Seni suara ini muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo. Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf. Diantaranya: tembang Dandanggula (karya Sunan Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (Sunan Giri), Durma (Sunan Bonang), Maskumambang dan Mijil (Sunan Kudus), Sinom dan Kinanti (Sunan Muria), Pangkur (Sunan Drajat). Selain itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak. Misalnya tembang karya Sunan Giri seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,
Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah
Musik gambus berasal dari arab. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan marawis. Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus. Bahkan, group Qosidah Modern seperti Group Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik modern. Syair lagunya pun bervariasi, selain sholawat Nabi adalah syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.
Hadhroh dan Al-Banjari sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji, diba;iy, dan sya’ir sholawat Nabi. Hadhroh, gambus, qosidah dan Al-Banjari biasa dimainkan dalam acara semecam khitanan, pernikahan, pengajian, dan acara keislaman lainnya. Di Banyuwangi ada seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi dan Hadhroh.
Sedangkan tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah, merupakan seni budaya Islam yang memiliki 7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan arab lainnya, meliputi lagu Bayati, Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an).
Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati
Tari Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya semuanya lelaki. Tari Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.
Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana
Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang untuk kepentingan agama Hindu-Budha dan diwarnai dengan corak gambar binatang, manusia, dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran /patung binatang, relif di candi, ukiran di gapura, dll. Setelah Islam masuk, lalu diubah menjadi bercorak/motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Qur’an & Hadis).
Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncullah mode pakaian seperti Baju Takwa, Baju Teluk Belanga, Kerudung, Jilbab, Songkok/Kopiah, blangkon, baju surjan, serban, dll.
Dari kalangan Walisongo, Sunan Kalijaga cukup kreatif dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang), lalu diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan mode baju yang lebih dikenal dengan baju Takwa. Seni batik yang pada masa pra Islam diwarnai dengan illustrasi gambar burung yang dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai yang dikehendaki Islam. “Ku” berasal dari bahasa arab Qu yang berarti jagalah, dan “kila” dari bahasa arab Qila, berarti yang diucapkan. Dengan demikian, illustrasi burung “kukila” mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya.
Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.