Senja di Balik Tirai Bambu Bag. 2

Jejak di Tanah Merdeka
Share Post

Mataya memandang wajah temannya itu dalam-dalam. Waktu telah mengubahnya, begitu pula perjuangan yang tak kunjung berakhir. Namun, di dalam mata yang lelah itu, Mataya masih melihat secercah api—api kecil yang pernah membakar semangat seluruh generasi mereka. Kawan yang kini duduk di hadapannya ini dulu memimpin dengan tangan terkepal, menggenggam harapan tentang negeri yang adil dan makmur. Kini, yang ia genggam hanyalah luka-luka yang tak pernah sembuh.

“Kita telah terlalu jauh berjalan,” Mataya berkata perlahan. “Namun jalan ini, seperti bambu-bambu di depan kita, tak pernah benar-benar berujung.”

Temannya, yang kini telah renta oleh perjuangan, tersenyum pahit. “Mungkin memang begini nasib kita. Terjebak dalam bayang-bayang, seperti bambu yang ditiup angin, berdiri tegak tapi tak pernah bebas.”

Mataya mengalihkan pandangannya ke ladang bambu yang bergerak pelan. Setiap batangnya seperti menceritakan sejarah panjang—penindasan, perlawanan, dan kehilangan. Di balik tirai bambu itu, suara-suara masa lalu seakan menggema, memanggil mereka untuk tidak berhenti, meski segala yang mereka perjuangkan tampak sia-sia.

Namun, di tengah percakapan itu, suara lain menginterupsi. Langkah-langkah berat terdengar mendekat, dan dari bayang-bayang senja, muncul sekelompok orang berseragam. Wajah mereka keras, dingin, tak menunjukkan rasa belas kasihan sedikitpun. Mata mereka adalah mata kekuasaan yang tak pernah mengenal kata “keadilan.”

Pemimpin rombongan itu melangkah maju, memandangi Mataya dan kawannya dengan penuh curiga. “Kalian berdua masih berani berkumpul di sini? Di tanah yang bukan lagi milik kalian?”

Mataya menatap pria berseragam itu dengan tenang. “Tanah ini, seperti udara yang kita hirup, tak pernah bisa dimiliki. Seperti bambu yang tumbuh, ia ada untuk siapa saja yang bisa bertahan.”

Flashdisk Kitab Kuning PDF

Namun kata-kata Mataya hanya memicu amarah. “Kalian pemberontak! Kalian tak pernah tahu kapan harus berhenti.”

Dalam hitungan detik, para serdadu itu menerjang. Pukulan, tendangan, dan hinaan dilemparkan dengan brutal. Mataya dan temannya terjatuh ke tanah, tubuh mereka dihantam tanpa ampun. Di bawah tirai bambu itu, mereka dihukum bukan karena kesalahan, melainkan karena keberanian untuk mempertanyakan kekuasaan yang tak pernah adil.

Malam pun jatuh dengan cepat. Darah mengalir, membasahi tanah di mana mereka terkapar. Namun di tengah derita itu, Mataya tetap berpegang pada satu keyakinan—bahwa perjuangan mereka, meski terlihat kalah, takkan pernah sepenuhnya mati. Seperti bambu yang terus tumbuh meski ditebas, manusia pun akan terus bangkit melawan penindasan.

Di sela-sela penderitaannya, Mataya berbisik kepada temannya yang terbaring lemah di sisinya, “Kita belum kalah. Tidak sampai orang terakhir di antara kita berhenti bermimpi.”

Malam itu, di balik tirai bambu yang kini berbisik bersama angin, Mataya pingsan, namun dalam batinnya ia tahu bahwa senja ini hanyalah awal dari malam panjang yang penuh dengan pergulatan. Ia tidak tahu kapan fajar akan tiba, tapi ia yakin—meski ia tak lagi di sini—orang-orang sepertinya akan tetap melanjutkan perlawanan.

Bersambung… Part 3…..


Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Komentar

Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca