Senja turun perlahan, menyelimuti desa kecil di kaki gunung dengan warna merah darah. Di balik tirai-tirai bambu yang melambai pelan tertiup angin, Mataya duduk di ambang pintu gubuknya. Matanya menatap lurus ke arah cakrawala, namun pikirannya telah jauh terbang ke masa silam, mengarungi tahun-tahun yang hilang dalam bayang-bayang penjajahan dan pergolakan negeri.
Hari-hari seperti ini selalu membawa kenangan yang berat. Di balik matahari yang perlahan tenggelam, ia melihat wajah-wajah yang tak pernah ia lupakan—ayahnya yang tewas dalam perang, saudaranya yang hilang dalam arus revolusi. Mereka adalah nama-nama yang kini hanya hidup dalam ingatan, dikepung oleh kebisuan sejarah yang dibuat penguasa. “Seperti senja ini,” pikir Mataya, “mereka lenyap begitu saja, ditelan gelap yang tak pernah memberi jawaban.”
Di hadapannya, ladang bambu terhampar. Bambu-bambu itu, seperti ia, telah menyaksikan terlalu banyak penderitaan, terlalu banyak darah yang membasahi tanah. Di bawah kekuasaan yang berubah-ubah, yang satu menggantikan yang lain, bambu tetap berdiri, tegak namun penuh luka. Mereka memisahkan dirinya dari dunia luar, menciptakan penjara alam yang sunyi.
Mataya menghela napas panjang. Bagi orang-orang seperti dirinya, kehidupan tidak pernah benar-benar berubah. Mungkin penguasa berganti, penjajah silih berganti, namun yang tersisa bagi mereka hanyalah senja yang panjang, senja di balik tirai bambu yang menunggu datangnya malam yang tak menjanjikan pagi. “Di mana janji kebebasan itu?” tanya Mataya dalam hati, meski ia tahu jawaban itu takkan datang.
Di kejauhan, sebuah suara mengusik keheningan. Langkah-langkah tergesa, suara ranting patah, dan bayangan seorang pria muncul di antara rerimbunan bambu. Wajahnya tak asing—seorang kawan lama, pejuang yang dulu bersumpah untuk meruntuhkan tirani. Namun kini, ia datang dengan langkah tertatih, tubuhnya kurus dan letih, seakan revolusi yang ia bawa di pundak telah memakan seluruh hidupnya.
“Mataya,” suara itu terdengar lelah. “Kita tak pernah menang, bukan?”
Mataya menatap kawan lamanya itu, merasakan beban yang sama. “Tidak, kita hanya tak pernah berhenti berjuang.”
Senja terus meredup, menyisakan bayang-bayang panjang dari bambu yang membelah bumi. Mereka duduk di sana, di antara sisa-sisa harapan yang terperangkap dalam bayang kekuasaan. Tak ada lagi yang mereka miliki, kecuali sejarah yang tak pernah benar-benar milik mereka. Dan senja, senja di balik tirai bambu itu, menjadi saksi bisu dari perlawanan yang tak pernah selesai.
Bersambung
Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.