Batas Langit, Batas Harapan

Jejak di Tanah Merdeka
Share Post

Setelah peluncuran buku “Perempuan yang Berdiri di Tepian Zaman,” Surya menatap langit senja yang mulai memerah. Di hatinya, ada beban dan tanggung jawab yang mendalam. Ia ingat kata-kata Ibu Sari: “Setiap perempuan yang berjuang meninggalkan jejaknya di tanah ini. Kita harus meneruskan cerita mereka.” Kata-kata itu menggema dalam pikirannya, seolah menyeru agar ia tidak berhenti berjuang.

Di tengah kesibukan kota, Surya dan teman-temannya, Rani, Dinda, dan Dika, berkumpul di beranda rumah Surya. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan yang telah dimulai oleh perempuan-perempuan yang mereka angkat dalam buku. “Kita harus menjangkau perempuan di desa-desa terpencil,” kata Dinda, matanya bersinar penuh semangat. “Kita perlu mendengar kisah-kisah mereka dan mengangkat suara mereka.”

Surya teringat akan kisah Bunga, perempuan pejuang dari surat kuno yang ditemukannya. Seperti Bunga, mereka juga ingin melawan batasan yang ada. “Kita akan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini,” katanya dengan suara bergetar.

Mereka memulai perjalanan ke desa-desa terpencil, membawa harapan dan pengetahuan. Di setiap desa, mereka menyampaikan pentingnya suara perempuan dan mendengarkan cerita perjuangan mereka. Setiap cerita adalah warisan yang harus dijaga.

Dalam perjalanan ini, mereka tiba di desa yang pernah menjadi basis perjuangan Nyai Ageng. Di sini, mereka mendapati mural-mural yang menggambarkan sejarah pertempuran perempuan melawan penjajahan. Mural tersebut menggugah semangat dan mengingatkan mereka bahwa perjuangan tidak pernah sia-sia.

Di salah satu desa, mereka bertemu Maya, seorang gadis muda yang tertekan oleh tradisi yang mengekang impiannya. Melihat potensi dalam diri Maya, Rani mengambil inisiatif. “Kamu harus melukis, Maya. Gambar impianmu,” katanya, teringat akan lukisan-lukisan yang menggambarkan harapan.

Maya merasa tergerak. Dalam satu malam, ia menciptakan lukisan besar yang menggambarkan perempun-perempuan kuat dari sejarah. “Ini adalah suaraku,” katanya, meneteskan air mata haru. “Aku ingin dunia melihatnya.”

Flashdisk Kitab Kuning PDF

Karya Maya menjadi titik balik di desa itu. Dengan dukungan Surya dan teman-teman, mereka mengadakan pameran seni untuk merayakan perjuangan perempuan. Dalam acara tersebut, Maya berbagi kisahnya, sementara Surya mengingatkan semua orang bahwa setiap suara adalah bagian dari cerita yang lebih besar.

Acara itu berakhir dengan tepuk tangan meriah, tetapi Surya tahu bahwa mereka masih memiliki perjalanan panjang. “Kita harus terus berjuang,” katanya. “Setiap lukisan, setiap cerita adalah langkah menuju kebebasan.”

Saat malam tiba, Surya menatap langit yang penuh bintang. Ia teringat akan perempuan-perempuan yang telah berjuang sebelum mereka—Bunga, Nyai Ageng, dan Ibu Sari. Mereka adalah cahaya yang menerangi jalan. “Batas langit bukanlah akhir,” katanya dengan semangat. “Harapan kita akan terus terbang tinggi, melampaui batasan yang ada.”

Dengan tekad baru, mereka berjanji untuk terus memperjuangkan suara perempuan dan menjaga agar cerita-cerita tersebut tetap hidup. Karena bagi mereka, setiap langkah adalah harapan yang tak terbatas.


Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

1 komentar untuk “Batas Langit, Batas Harapan”

Komentar

Eksplorasi konten lain dari Ruangku Belajar

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca